LANDASAN TEORITIS DAN EMPIRIS PEMBELAJARAN IPA TERPADU SD

 

LANDASAN TEORITIS DAN EMPIRIS PEMBELAJARAN IPA TERPADU SD

Oleh: Elyas Djufri

 

Bagaimana Proses Pembelajaran IPA?

Dalam memahami IPA selalu berkaitan dengan proses berpikir. Berpikir deduktif adalah berpikir dari hal-hal yang umum ke khusus, dari abstrak ke konkrit dan biasanya menggunakan logika, sedangkan berpikir induktif adalah berpikir dari hal-hal yang khusus ke umum, dari konkrit ke abstrak dan biasanya menggunakan statistika.

IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan sesuatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari untuk diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Kemudian diarahkan untuk mempraktekkan sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Pembelajaran IPA menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Pembelajaran IPA di Sekolah sangat perlu menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 1-2).

Sebelum masuk sekolah dasar dan diajarkan sains secara formal, anak-anak biasanya sudah membawa ide dasar sains berdasarkan fenomena-fenomena alam yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sudah memiliki pengetahuan tentang apa yang akan terjadi jika mereka menarik, memukul atau menjatuhkan suatu benda. Bahkan mereka juga sudah memiliki pengetahuan dasar mengenai dunia dan alam sekitarnya, seperti air, cahaya, api, dan bayangan. Sebagai contoh: anak usia 7 tahun yang belum di ajari sains secara formal disekolah ternyata telah memiliki pengetahuan  bahwa es yang dikeluarkan dari kulkas akan mencair di tempat terbuka. “Matahari memanasi es itu.” Katanya,”karena panas itulah es menjadi air.’ Anak ini belum menerima pendidikan IPA secara formal mengenai teori perubahan zat dari pada ke cair, tetapi sudah mengembangkan sebuah pengetahuan dasar bahwa es yang terkena panas akan berubah menjadi air.

Banyak sekali konsep-konsep IPA yang dikembangkan oleh anak-anak berasal dari kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengalaman-pengalaman seperti ini, para ahli menyimpulkan bahwa anak-anak belajar sains melalui konsep yang mereka ciptakan/konstruk sendiri. Paham inilah yang sering kali disebut sebagai paham konstruktivisme. Paha mini dipelopoori oleh jean piaget. Paham sangat kompatibel dengan prinsip-prinsip perkembangan psikologis  anak didik yang dikemukakan oleh Vygotsky.

Perbincangan mengenai konsstruktivisme dalam pembelajaran sains menjadi sangat menarik, mengingat pada saat ini, pendidikan di Indonesia selalu diarahkan agar peserta didik mampu mengembangkan long-term memory, life skill, dan memiliki kemampuan atau kompetensi untuk memahami konsep-konsep sains, serta tidak hanya menghafal konsep-konsep tersebut. Bahkan, saat ini di arahkan agar pembelajaran sains lebih terkonstruksi secara sosial. Untuk alasan iitulah sains harus dibelajarkan disekolah melalui kurikulum terintegrasi/terpadu.

Rasionalisasi IPA Terpadu

Pembelajaran IPA bergeser menuju pembelajaran IPA terpadu/teritegrasi dilator belakangi oleh: 1) hasil penelitian, bahwa enam sifat guru efektif belum dimiliki oleh guru-guru IPA di jenjang SD, SMP/MTS); 2) Mismatch tentang keadaan guru IPA di SMP, dimana guru IPA yang di ampuh oleh guru yang bukan lulusan S1 pendidikan IPA/SD; dan 3) standards for science teacher preparation merekomendasikan, bahwa guru-guru IPA harus memiliki kecenderungan interdisipliner pada IPA.

Tumpang tindih materi dapat menjadi lebih efisien dan efektif untuk dibelajarkan; peserta didik dapat melihat  hubungan yang bermakna antara konssep dari tiga bidang kajian atau lebih; meningkatkan taraf kecakapan berpikir peserta didik, karena mereka dihadapkan pada gagasan atau pemikiran yang lebih luas dan lebih mendalam ketika menghadapi situasi pembelajaran; menyajikan penerapan/aplikasi tentang dunia nyata yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memudahkan pemahaman konsep dan kepemilikan kompetensi IPA; motivasi belajar peserta didik  dengan pengalaman belajar yang terkait, sehingga pemahaman menjadi lebih terorganisasi dan mendalam, serta memudahkan memahamai hubungan materi IPA dari satu konteks ke konteks lainnya; serta mampu meningkatkan kerja sama antara guru, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, peserta didik/guru dengan narasumber; sehingga belajar lebih menyenangkan, belajar situasi nyata, dan dalam konteks yang lebih bermakna (Kemdiknas, 2005:2).

IPA Terpadu adalah mata pelajaran interdisipliner yang memberikan kesempatan siswa untuk mempelajarai isu-isu yang relevan dengan IPA dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran ini mengintegrasikan perspektif dari berbagai disiplin ilmu termasuk biologi, kimia, fisika, ilmu bumi-antariksa dan lain-lain. Diadakannya IPA terpadu dalam kurikulum sekolah dipengaruhi oleh premis bahwa pengetahuan tentang oragnisme dan interaksinya dengan lingkungan akan meningkatkan penerapan IPA dalam membentuk kualitas kehidupam, melalui promosi praktik kesehatan diri dan peduli terhadap lingkungan hidup. IPA terintegrasi bertujuan untuk menghasilkan” orang dewasa muda dengan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang akan membantu mereka menegosiasikan lingkungan teknologi yang semakin kompleks dan dinamis dimana mereka tinggal dan bekerja. (Caribbean Examinations Council, 2007).

Landasan Teoritik dan Empirik

Pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat SD/MI sampai dengan SMA/MA, model pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik.

1.        Landasan Pemikiran

Pembelajaran terpadu dikembangkan dengan landasan pemikiran yaitu:

a.       Progresivisme, menyatakan bahwa pembelajaran seharusnya berlangsung secara alami, tidak artifisial.

b.      Konstruktivisme, menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna.

c.       Developmentally Appropriate, menyatakan bahwa pembelajaran harus disesuaikan dengan perkembangan usia dan individu yang meliputi perkembangan kognisi, emosi, minat, dan bakat siswa.

2.        Landasan Normatif

Landasan Normatif , menghendaki bahwa pembelajaran terpadu hendaknya dilaksanakan berdasarkan gambaran ideal yang ingin dicapai oleh tujuan pembelajaran.

3.        Landasan Praktis

Landasan Praktis, bahwa pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi praktis yang dipengaruhi terhadap kemungkinan pelaksanaanya mencapai hasil yang optimal.

 

1.        TEORI PERKEMBANGAN JEAN PEAGET

Menurut jean peaget, seorang anak maju melalui empat tahap perkembangan kognitif,antara lain dan dewasa, yaitu tahap sensorimotor,pra operasional operasi konkrit, dam oporasi formal, kecepatan perkembangan tiap individu melalui tahapan ini berbeda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan kemampuan intelek tual baru yang memungkinkan  orang memahami duia dengan cara yang semakin kompleks.

Perkembangan sebagian bergantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinterasi aktif dengan lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan dimana anak belajar sanagat menentukan proses perkembangan kognitif anak. Adaptasi lingkugan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Menurut Slavin(1994: 32), asimilasi merupakan penginterpretasian pengalaman pengalaman baru dalam hubungannya dengan skema skema yang ada.

Sedangkan akomodasi adalah pemodifikasian skema skema yang ada untuk mencocokanya dengan situasi situasi yang baru. Proses pemulihan kesetimbangan antara pemahaman saat ini dan pengalama pengalaman yang baru disebut akuilibrasi.menurut piaget, Pembelajaran bergantung pada proses ini . saat kesetimbangan terjadi, anak memiliki kesempatan bertumbuh dan berkembang. Guru dapat mengambil keuntungan ekuilibrasi dengan menciptakan situasi yang mengakibatkan ketidaksetimbangan, oleh karena itu menimbulkan keingintahuan siswa.

Piaget yakin bahwa pengalaman pengalaman fisik dan manipulasi lingkunagan penting bagi terjadinya perubahan perkembnagan. Selain itu, ia juga berkeyakinan bahwa interaksi sosial dengan teman sebayanya, kususnya berargumentasi, berdiskusi, memantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya, membuat pemikiran itu menjadi logis.

Guru dapat menciptakan suatu keadaan atau lingkungan belajar yang memadai agar siswa dapat menemukan pengalaman pengalaman nyata dan terlibat langsung dengan alat atau media. Peranan guru sangat penting untuk menciptakan situasi belajar sesuai dengan teori piaget. Beberapa teori piaget dalam pembelajaran sebagai berikut:

1.         Memfokuskan pada proses berpikir anak,tidak sekedar pada produknya. Disamping itu dalam pengecekan kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang di gunakan anak sampai pada jawaban tersebut.

2.         Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran.

3.         Penerimaan perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan. Bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya pada kecepatan yang berbeda.

Oleh karena itu guru harus melakukan upaya khusus untuk lebih menata kegiatan kegiatan kelas untuk individu individu dan kelompo kelompok kecil anak anak dari pada kelompok klasikal. Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri  dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas tidak menyajikan pengetahuan jadi, melainkan anak didorong untuk menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi dengan lingkunganya. Oleh karena itu, Guru dituntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung.

Dari implikasi teori  piaget diatas, jelaslah guru harus mampu menciptakan keadaan belajar yang mampu untuk belajar sendiri arinya, guru tidak sepenuhnya mengajarkan sesuatu bahan ajar kepada pembelajar,tetapi guru dapat membangun pebelajar yang mampu belajar dan terlibat aktif dalam belajar.

 

2.        TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan aturan lama dan merevisinya apabila aturan aturan tersebut tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja nenecahakan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide ide.

Menurut teori ini, suatu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan yang ada di benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan dan menerapkan ide ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memenjatnya.

Pada dasarnya aliran kontruktivissme menghendaki bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman merupakan kunci utama dari belajar bermakna. Belajar bemakna tidak akan terwujud hanya dengan mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang lain.

Prinsip yang sering diambil dari kontruktivisme menurut suparno yaitu:

1.    Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif,

2.    Takanan dalam proses balajar terletak pada siswa.

3.    Mengajar adalah membantu siswa belajar.

4.    Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.

5.    Kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan

6.    Guru sebagai fasilitator

Secara umum, prinsip prinsip tersebut berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktik,pembaharuan,dan perencanaan pendidikan.

 

3.        TEORI VYGOTSKY

Teori vygotsky merupakan salah satu teori peting dalam psikologi perkembangan. Teory vygotsky menekankan pada hakekat sosialkultural dari pembelajaran. Menurut vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas tugas yang belum belum di pelajari namun tugas itu masih berada dalam jangkauanya, Contoh dalam pembelajaran , yaitu ketika akan mengajarkan materi hukum pembiasan cahaya, siswa harus memiliki prasyarat pengetahuan yang berkaitan dengan cahaya, seperti siswa mudah memahami bahwa lintasan cahaya pada medium homogen adalah lurus, siswa memberikan contoh contoh pembiasan dan pemantulan cahaya dalam kehidupan sehari hari. Dengan memiliki prasyarat pengetahuan seperti itu, maka dalamm menyampaikan materi hukum pembiasan cahaya akan lebih mudah dipahami siswa, disamping pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa tersebut.

Ide  penting lain yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah memberikan sejumlah bantuan yang besar kepda seorang anak selama tahap tahap awal pembalajaran kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukan nya. Bantuan tersebur dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah kedalam langkah langkah pemecahan, memberikan contoh, atau pun yang lain sehimgga memungkinkan siswa tumbuh mandiri, Contoh dalam pembelajaran adalah pada pembelajaran eksperimen untuk membuktikan hukum pemantulan cahaya, guru dapat memberikan bantuan kepada siswa berupa penjelasan tentang langkahlangkah pelaksanaan eksperimen, atau bantuan berupa diskusi tentang rangkuman materi yang berkaitan dengan pemantulan cahaya.

Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pembelajaran sains. Pertama, dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran koperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif didalam pikiran siswa.. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scalffolding sehingga siswa semakn lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaranya sendiri.

 

4.        TEORI BANDURA

Pemodelan merupakan konsep dasar dari teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Seseorang belajar menurut teori ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang ulang kembali. Dengan jalan ini memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku  yang di pelajarinya.

Berdasarkan pola perilaku tersebut, selanjutnya Bandura mengklasifkasi empat fase belajar dari pemodelan yaitu: Fase perhatian, fase retensi, fase reproduksi, dan fase motivasi.

 

5.        TEORI BRUNER

Jerome Bruner, seorang ahli psikologi havard adalah salah seorang pelopor pengembangan kurikulum terutama dengan teori yang di kenal dengan pelajaran penemuan inkuiri. Teori Bruner yang selanjutnya disebut pembelajaran penemuan inkuiri adalah model pembelajaran yang menekankan pentingnya pemahaman tentang struktur materi atau ide kunci dari suatu ilmu yang dipelajari, perlunya belajar aktif sebagai dasar dari pemahaman sebenarnya, dan nilai berpikir secara induktif dalam belajar (pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi). Menurut  bruner, belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan perhatianya untuk memahami struktur informasi, siswa harus aktif dimana mereka harus mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya menerima penjelasan dari seorang guru.

Oleh karena itu, guru harus memunculkan masalah yang mendorong siswa untuk melakukan kegiatan penemuan. Dalam pembelajaran melalui penemuan, guru nenberikan contoh dan siswa bekerja berdasarkan contoh tersebut sampai hubungan antar bagian dari suatu struktur materi. Aplikasi ide-ide bruner dalam pembelajaran menurut woolfolk, digambarkan sebagai berikut

1.         Memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep yang dipelajari

2.         Membantu siswa mencari hubungan antara konsep

3.         Mengajukan pertanyaan dan membiarkan siswa mencoba menemukan sendiri jawabanya

4.         Mendorong siswa untuk membuat dugaan yang bersifat intuitif

 

 

 

 


 

Simpulan

Pembelajaran terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan, model pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik.

Landasan Pemikiran pembelajaran terpadu dikembangkan dengan landasan pemikiran yang meliputi Progresivisme, Konstruktivisme, Developmentally, dan Appropriate. Landasan Normatif menghendaki bahwa pembelajaran terpadu hendaknya dilaksanakan berdasarkan gambaran ideal yang ingin dicapai oleh tujuan pembelajaran. Landasan Praktis menyatakan bahwa pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi praktis yang dipengaruhi terhadap kemungkinan pelaksanaanya mencapai hasil yang optimal.

Teori dalam pembelajaran terpadu antara lain teori Jean Peaget, teori Kontruktivisme, teori Vygotsky teori Bandura, teori Bruner.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tugas Mandiri

1.      Jika pembelajaran terpadu dikembangkan dengan landasan pemikiran progresivisme, behavioristik, dan konstruktivisme, coba anda jelaskan ketiga teori tersebut secara mendalam disertai contoh penerapannya di sekolah dasar.

2.      Jelaskan makna landasan normatif dan praktis dalam pendidikan IPA Terpadu!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Indrawati. 2009. Model Pembelajaran Terpadu Di Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA)

Tim Pengembang PGSD. 1996. Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Trianto,2010,Model Pembelajaran Terpadu,Surabaya: Bumi Aksara

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share:

YOUTUBE CHANNEL LECTURE MUDA












Share:

HAKIKAT PENDIDIKAN IPA & BUDAYA IPA

  1. Hakikat Pendidikan IPA

   Kaitannya dengan keseluruhan kurikulum, bahwa terjadinya belajar pada peserta didik merupakan faktor utama yang paling penting dan harus diperhatikan dalam pembelajaran sains. Agar hal ini dapat tercapai, bahasa yang digunakan hendaknya dapat dimengerti oleh peserta didik dan berkesesuaian dengan teknologi yang ada, karena di sekitar kita penuh dengan hasil teknologi; dan memperhatikan tingkat perkembangan kemampuan peserta didik itu sendiri. Batasan yang dikemukakan Kirkham lebih tepat untuk pendidikan sains, sebab memasukkan unsur sikap, yaitu pada elemen konteks individu dan masyarakat, di samping unsur content dan process dari sains. Dalam pendidikan sains unsur sikap sangat penting dikembangkan selain unsur konsep dan proses.
      DeBoer (1991, 69-70) menyatakan bahwa Komisi Sains yang dipimpin oleh Otis W. Caldwell beranggotakan 47 orang, profesor dalam bidang pendidikan dan kepala sekolah Lincoln School memberikan rasional dalam kurikulum dan arah sains dalam pendidikan sesuai dengan yang diinginkan oleh sains agar pencapaian peserta didik seperti yang diharapkan, yaitu sebagai berikut.
  1. Sains merupakan sesuatu yang bernilai dalam „hidup sehat‟ karena pengetahuan masyarakat tentang kebersihan lingkungan dan kesehatan individu dapat mencegah mewabahnya penyakit dan mengendalikan berjangkitnya suatu penyakit.
  2. Meskipun sains terus melaju ke arah kemajuan, tetapi sains tetap peduli dengan „worthy home membership’ melalui pembelajaran tentang fungsi dan keterbatasan listrik, sistem ventilasi, pengoperasian dari berbagai alat di rumah yang digunakan dalam sehari-hari.
  3. Pelajaran sains bermanfaat untuk keperluan pekerjaan khusus dalam kehidupan yang umum (misalnya, biologi, fisika, kimia, fisiologi, kesehatan).
  4. Berkaitan dengan tujuan „kemasyarakatan‟ sains memberikan penghargaan yang lebih terhadap kerja dan kontribusinya dalam memberikan masyarakat kemampuan untuk mengambil peran dalam masyarakat.
  5. Kontribusi sains dalam pemanfaatan waktu luang, misalnya melalui pemahaman tentang optik, dan prinsip kimia dalam fotografi, dan pembuatan observasi yang lebih mendalam tentang alam sambil menjelajahi kawasan atau wilayah atau negara atau pantai.
  6. Studi tentang sains memberikan kontribusi dalam pengembangan etika dan karakter melalui pemahaman yang mendalam tentang konsep kebenaran dan kepercayaan terhadap hukum sebab akibat.


Tujuan yang direkomendasikan oleh komisi tersebut, antara lain, sebagai berikut.
    1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum melalui pendidikan, dengan penyebaran informasi tentang kehidupan sehari-hari, meliputi: kesehatan masyarakat dan personal, pendidikan sex, pengetahuan sanitasi, dan pengetahuan yang membantu masyarakat dalam menggunakan secara benar teknologi modern di rumah dan dalam kehidupan sehari-hari.
    2. Mengembangkan hubungan sains dan keindahan alam.
    3. Menarik minat peserta didik untuk melakukan studi lanjutan tentang sains  dalam mengantisipasi bagi mereka yang memilih karir yang berkaitan dengan sains, sebagai saintis atau ahli lain yang memerlukan pengetahuan sains.
    4. Mengembangkan kemampuan peserta didik mengobservasi, membuat pengukuran yang teliti terhadap suatu fenomena, mengklasifikasikan pengamatan, dan membuat penalaran secara jelas terhadap hasil pengamatan.
    5. Pemahaman yang jelas tentang prinsip-prinsip masing-masing cabang sains, meliputi: fisika, kimia, dan biologi. Masing-masing cabang ini dikembangkan oleh ahlinya masing-masing.
Jadi dapat kita katakan bahwa, pendidikan sains pada hakikatnya adalah membelajarkan peserta didik untuk memahami hakikat sains (proses dan produk serta aplikasinya) mengembangkan sikap ingin tahu, keteguhan hati, dan ketekunan, serta sadar akan nilai- nilai yang ada di dalam masyarakat serta terjadi pengembangan ke arah sikap yang positif.

Pendidikan IPA hendaknya memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi positif pada dirinya; dan membiarkan serta memupuknya agar bermekaran „bunga-bunga„ walau pun berbeda tetapi harmonis satu dengan yang lainnya. Pendidikan IPA adalah suatu upaya atau proses untuk membelajarkan siswa untuk memahami hakikat IPA: produk, proses, dan mengembangkan sikap ilmiah serta sadar akan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat untuk pengembangan sikap dan tindakan berupa aplikasi IPA yang positif. Tujuan pendidikan sains dewasa ini mencakup lima dimensi, yaitu dimensi:
      1. Pengetahuan dan pemahaman (scientific information) Dimensi ini mencakup belajar informasi spesifik seperti: fakta, konsep, teori, hukum dan penyelidikan pengetahuan sejarah sains.
      2. Penggalian dan penemuan (exploring and discovering; scientific processes) Dimensi ini beruhubungan dengan penggunaan proses-proses IPA untuk mempelajari bagaimana ahli IPA bekerja dan berpikir. Keterampilan yang harus diajarkan mencakup: mengamati, mendeskripsikan, mengklasifikasi dan mengorganisasikan, mengkomunikasikan, berhipotesis, menguji hipotesis, menginterpretasikan data, penggunaan keterampilan psikomotor, dsb.
      3. Imaginasi dan kreativitas Dimensi ini berhubungan dengan kemampuan memvisualisasikan atau menghasilkan gambaran mental, mengkombinasikan objek dan gagasan dengan cara-cara baru, memecahkan masalah dan teka-teki, menghasilkan ide/gagasan yang tidak biasa.
      4. Sikap dan nilai Pengembangan kepekaan dan penghargaan kepada orang lain. Mengekspresikan perasaan dengan cara yang konstruktif. Mengambil keputusan dengan didasari oleh nilai-nilai individu, sosial, dan isu- isu lingkungan
      5. Penerapamampu mengidentifikasi hubungan konsep ipa dalam penggunaannya dengan kehidupan sehari-hari; memahami prinsip-prinsip ilmiah dan teknologi yang bekerja pada alat-alat rumah tangga; memahami dan menilai laporan-laporan perkembangan ilmiah yang ditulis pada mass media. 
(Sumber: A new Taxsonomy of Science Education)





Muara dari upaya dalam Pendidikan Sains adalah pembentukan kinerja peserta didik yang ditandai dengan pencapaian peserta didik dan sikap peserta didik. Hal ini terjadi karena efek langsung dan efek tidak langsung dari pendekatan yang dipilih dalam membahas Sains bersama peserta didik.


Gambar. Pencapaian dan kinerja siswa

Efek pembelajaran merupakan langsung sebagai hasil belajar, dan efek iringan atau tidak langsung terjadi akibat pendekatan, pengalaman belajar peserta didik. Efek iringan muncul karena IPA/sains memiliki nilai. Nilai-nilai inilah yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dalam diri peserta didik ketika dan setelah belajar IPA/sains. Nilai-nilai IPA dalam berbagai segi kehidupan itu adalah:
1. Nilai praktis
Tidak diragukan lagi bahwa IPA mempunyai nilai praktis, dimana hasil-hasil penemuan IPA, baik secara langsung atau tidak langsung dapatdigunakan dan dimanfaatkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya: komputer, robot, mesin cuci, televisi, dan sebagainya. Teknologi yang merupakan hasil- hasil penemuan IPA telah banyak sekali mengasilkan benda-benda yang sangat bermanfaat bagi manusia. Perkembangan dan kemajuan teknologi mengandalkan hasil teknologi mengandalkan hasil penemuan IPA. Demikian pula IPA, memanfaatkan hasil teknologi untuk memecahkan masalah-masalah dan memperoleh penemuan- penemuan baru (contoh: komputer, mikroskop elektron, dan sebagainya). Tidak disangsikan lagi bahwa IPA dan teknologi saling membutuhkan, saling mengisi dan saling membantu untuk bisa terus berkembang.

 2. Nilai intelektual

IPA dengan metode ilmiahnya banyak sekali digunakan untuk memecahkan masalah-masalah, bukan saja masalah yan berkaitan dengan IPA, tetapi masalah-masalah lain yang berkaitan dengan sosial dan ekonomi. Ilmu sosial dan ekonomi banyak menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan masalah-masalahnya. Metode ilmiah memberikan kemampuan dan keterampilan kepada manusia untuk dapat memecahkan masalah. Kemampuan ini ternyata memberikan kepuasan khusus kepada manusia. Oleh karena itu IPA dengan metode ilmiahnya mempunyai nilai intelektual.

3. Nilai sosial politik-ekonomi

Negara yang IPA dan Teknologinya maju akan mendapat tempat khusus dalam kedudukan sosial, politik, dan ekonominya. Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Jepang dan sebagainya mendapat kedudukan penting dalam percaturan dunia. Indonesia pernah merintis penggunaan teknologi canggih dengan pembuatan pesawat terbang di IPTN, dan pada waktu itu, negara kita pun mulai diperhitungkan oleh dunia dan membawa dampak terhadap nilai sosial, politik, dan ekonomi.

4. Nilai keagamaan
Ada yang berpendapat bahwa apabila seseorang belajar IPA dan Teknologi terlalu mendalam, maka orang itu akan melakukan hal-hal yang menjurus ke arah negatif, misalnya ingkar kepada Allah SWT. Pendapat ini nampaknya tidak semua benar, karena banyak para ilmuwan IPA yang dahulunya kurang percaya terhadap Agama, sedikit demi sedikit bahkan ada yang sangat mendalami Agama. Mereka ilmuan masih belum bisa mengungkapkan semua fenomena alam yang ada di Bumi dan Jagat Raya ini, mereka manusia memiliki kemampuan terbatas. Mereka menyadari bahwa ada yang menciptakan dan mengatur segala keteraturan yang ada di Jagat Raya ini, dan mereka ilmuan pun semakin yakin dan percaya bahwa ada yang mengatur semua itu yakni Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Seorang ilmuan yang beragama akan semakin tebal keimannya, karena kepercayaan terhadap agama tidak hanya didukung leh dogma-dogma, melainkan juga oleh rasio yang ditunjang oleh segala pengamatan yang merupakan manisfestasi kebesaran Allah SWT. Pernyataan yang terkenal yang diungkap oleh ilmuwan besar, seperti Albert Einstein adalah “ Science without religious is blind and religious without science is limp”.

5. Nilai pendidikan

Dalam abad kemajuan IPA dan teknologi ini diperlukan warganegara- warganegara yang melek IPA dan Teknologi Namun sangat disayangkan, masyarakat kita masih banyak yang belum melek IPA dan Teknologi ini. Untuk memecahkan masalah ini merupakan salah tugas pendidik IPA. Guru IPA memiliki tugas untuk membelajarkan siswa dengan baik untuk mencapai tujuan pendidikan IPA saat ini, yaitu menciptakan warganegara yan sadar akan IPA dan Teknologi.

Menurut De Boer (1991:177) orang yang sadar sains adalah “orang yang dapat menggunakan konsep-konsep sains, keterampilan proses sains dan nilai dalam membuat keputusan sehari-hari bila ia berinteraksi dengan orang lain atau lingkungannya dan ia juga memahami hubungan antara sains, teknologi, dan masyarakat, termasuk aspek-aspek perkembangan sosial dan ekonomi”.

Orang yang sadar teknologi menurut M.J. Dyrenfurth (1971) dalam Benny Karyadi (1997:1) dan Poedjiadi (1996:7) mempunyai ciri-ciri : (1) tahu menggunakan dan memelihara produk teknologi; (2) sadar tentang proses teknologi; (3) sadar akan dampak yang ditimbulkan oleh teknologi terhadap manusia dan masyarakat; (4) mampu mengadakan penilaian tentang proses dan produk teknologi; (5) serta mampu menghasilkan teknologi alternatif yang sederhana. Lebih lanjut lagi Poedjiadi (1997:4) merumuskan bahwa sadar sains dan teknologi adalah orang yang memiliki karakteristik: (1) menguasai konsep- konsep sains dan teknologi yang akan meningkatkan kemampuan orang tersebut untuk berpartisipasi secara efektif di masyarakatnya; (2) mampu berpartisipasi, memelihara, dan peduli terhadap kemungkinan dampak negatif dari produk teknologi; (3) kreatif dalam menghasilkan dan memodifikasi produk-produk yang dibutuhkan masyarakat; dan (4) sensitif serta peduli terhadap masalah-masalah lingkungan dan dapat membuat keputusan sehubungan dengan nilai-nilai.

Dari uraian di atas, diharapkan melalui pendidikan IPA diharapkan masyarakat dapat memahami IPA dan menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari untuk memecahkan masalah dalam kehidupan. Persoalan banjir, erosi, gizi rendah, kesehatan, dan lain-lain adalah contoh dari ketidakpedulian terhadap IPA dan Teknologi.

Oleh karena itu dalam sistem pendidikan di Indonesia, kurikulum di dorong agar peserta didik dapat berpikir secara benar seperti dalam kaidah dalam hakikat

IPA. Sebagai contoh tujuan pendidikan IPA di SD yang tertuang dalam kurikulum, diarahkan untuk:
  1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
  2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
  4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
  5. Meningkatkan Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
  6. Meningkatan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
  7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.


2. Paradigma Budaya dalam Pendidikan Sains

    Kesulitan belajar sains telah menjadi hal yang umum dialami peserta didik di seluruh dunia, baik dunia barat maupun dunia timur. Berbagai upaya telah dilakukan para ahli pendidikan sains termasuk Indonesia untuk meningkatkan hasil belajar sains. Mulai dari upaya membuat kurikulum yang tepat, model belajar, media pembelajaran interaktif, sampai bentuk evaluasi. Tujuan dari upaya tersebut tidak lain yaitu agar dapat menjadikan peserta didik merasa senang belajar sains yang saat ini masih terkesan menyulitkan dan menakutkan.

    Salah satu kendala dalam belajar sains adalah perbedaan cara pandang peserta didik dalam mempelajari sains (worldview) dengan cara pandang para ilmuwan. Perlu adanya jembatan sebagai katalis yang menghubungkan kedua cara tersebut secara cepat. Hal ini secara persepsional menjadikan peserta didik dapat membayangkan sains yang sedang mereka pelajari yang menjadi modal dasar penguasaan sains pada tahap berikutnya.

    Upaya meningkatkan pembelajaran sains di berbagai negara dengan menggunakan perubahan konseptual (conceptual change) yang berdasarkan pandangan konstruktivisme, hingga sekarang ini belum memuaskan. Upaya tersebut bukan berati gagal, namun perlu waktu dan perlu upaya lain agar upaya secara konseptual dapat berhasil. Taylor dan Cobern (1998) telah mengemukakan suatu perspektif baru bagi reformasi pendidikan sains yang disebut ”critical enculturation”, yang mengemukakan pandangan dinamis tentang proses adaptasi budaya yang harus mengenali kebutuhan akomodasi timbal balik tentang keyakinan, nilai, serta praktek-praktek sains modern dan budaya pribumi (Jegede & Aikenhead, 1992:22). Peserta didik yang belajar sains, secara tidak langsung mereka sedang mempelajari dan memperoleh budaya sains. Peserta didik harus menempuh tahapan dari dunia kehidupan sehari-harinya menuju dunia sains yang hendak diperolehnya di sekolah. Derajat persepsi peserta didik tentang pengetahuan sains dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana peserta didik itu tinggal dan beraktivitas. Sebagai contoh peserta didik yang dirumahnya sering mengotak-atik mesin mobil, sedikitnya peserta didik tersebut dapat dengan mudah mempelajari konsep rangkaian listrik paralel di sekolah, karena pada sistem mesin mobil terdapat sistem listrik yang dirangkai secara paralel. 
    Contoh lainnya ketika peserta didik hidup dalam lingkungan dunia kedokteran, karena orang tuanya seorang dokter, maka ketika peserta didik ikut terjun dalam dunia yang digeluti oleh orang tuanya walaupun secara tidak langsung, misalkan hanya bertanya, setidaknya peserta didik tersebut akan mudah mempelajari konsep-konsep biologi atau hayati yang ada di sekolah. Dengan demikian lingkungan budaya tempat peserta didik tinggal dan beraktifitas mendukung terbentuknya modal awal persepsi peserta didik dalam belajar di sekolah, khususnya belajar sains.
    Persepsi awal peserta didik yang baik merupakan modal dasar bagi keberhasilan peserta didik memahami sains di sekolah. Keuntungan ini dijelaskan dalam teori belajar konstruktivisme dan STS. Konstruktivisme memanfaatkan persepsi peserta didik untuk menggali pengetahuan. Sedangkan STS memanfaatkan pendekatan teknologi terapan yang ada di masyarakat. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memahami sains yang pada akhirnya memahami makna sains (Hakikat IPA). 
  Agar peserta didik merasa nyaman dan mudah mempelajari sains, tuangkanlah informasi tentang lingkungan sehari-hari peserta didik untuk menjelaskan fenomena alam secara alamiah. Hal ini akan menjadi jembatan untuk memberikan analogi yang biasanya lebih mudah dipahami peserta didik. Setelah budaya lingkungan peserta didik dituangkan, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi dan menggunakan prinsip/toeri/konsep teknologi di dalam komunitas peserta didik. Langkah kedua dapat membangun peserta didik lebih menggali sains secara konten. Dan langkat terakhir adalah mengajarkan nilai-nilai yang tertuang dalam budaya masyarakat yang hubungannya dengan sains dan teknologi. Langkah terakhir ini akan menghantarkan peserta didik memaknai sains (hakikat IPA).
   Tiga langkah di atas dapat menolong peserta didik melewati penghalang budayanya menuju sains sekolah. Oleh karena itu keberhasilan belajar sains bergantung pada bagaimana efektifnya peserta didik bergerak dari budaya kehidupan sehari-harinya menuju budaya sains. Maka implikasi lain bagi pembelajaran sains, menurut Aikenhead (1996, 1997b), Cobern dan Aikenhead (1998) (dalam Ely Djulia) adalah:
  • Membuat lintas batas (border crossing) yang eksplisit untuk anak
  • Memfasilitasi lintas batas itu
  • Melakukan pembelajaran sedemikian rupa sehingga anak: a) beraktifitas menurut kerangka kerja budayanya sendiri dan menurut kerangka kerja sains Barat tanpa menjadi korban budaya; b) terlibat ke dalam budaya keseharian asli anak dan budaya sains dan c) menyadari budaya mana yang sedang mereka jalani
  • Mendukung dan membangun validitas tentang cara-cara membangun pengetahuan baik secara personal maupun kultural
  • Mengajarkan materi sains dan teknologi Barat dalam beragam konteks sains, baik yang menyangkut peran sosial, politik, militer, kolonial, dan peran ekonomis dari sains.




DAFTAR PUSTAKA


Alit Mariana, I M. 2001. Kecenderungan Pendidikan Sains: Pendekatan Science- Technology-Society.             Bandung: Pusat Pengembangan penataran Guru IPA.
 
Bybee, Rodger W. (ed). 1986. 1985 Yearsbook Of The National Science Teachers Association: Science         Technology Society. Washington: National Science Teachers Association.
 
Chalmers, AF. 1980. What is this Thing Called Science? Milton Keynes, England: The Open Unversity            Press.
 
Dahar, R W. 1985. Kesiapan Guru Mengajarkan Sains di Sekolah Dasar ditinjau dari Segi                         Pengembangan Keterampilan Proses Sains. Desertasi meraih gelar doktor Ilmu Kependidikan           dalam         Bidang Pendidikan Sains. Bandung : IKIP. Bandung.

 
DeBoer, George E. 1991. A History of Ideas in Science Education: Implication for Practice. New York:         Teachers College, Columbia University.

 





 

Share:

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

LANDASAN TEORITIS DAN EMPIRIS PEMBELAJARAN IPA TERPADU SD

  LANDASAN TEORITIS DAN EMPIRIS PEMBELAJARAN IPA TERPADU SD Oleh: Elyas Djufri   Bagaimana Proses Pembelajaran IPA? Dalam memahami I...

Recent Posts

HOME